--
0

“Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawannya” itulah pekikan sang ploklamator bangsa, Ir Soekarno. Keberadaan para pahlawan merupakan sebuah keagungan yang tak terbantahkan dalam perjalanan hidup sebuah bangsa, dimana pahlawan adalah tonggak berdirinya bangsa ini. Mungkin kata-kata ini sudah tidak asing lagi di telinga kita sejak mulai duduk di bangku sekolah dasar.
Sejak waktu itu, kita dituntut oleh guru sejarah untuk menghapal nama-nama pahlawan-pahlawan satu per satu, apakah mereka yang di kelompokkan sebagai pahlawan revolusi, pahlawan nasional atau segala bentuk pangkat kepahlawanan yang mau tidak mau harus di hapalkan sebagai modal mendapatkan nilai di raport.
Nama R.A Kartini diperkenalkan sebagai pahlawan perempuan pertama karena jasa-jasanya ndalam membela hak asasi perempuan, menyusul nama-nama seperti Tuanku Imam Bonjol, Teuku Umar, Cut Nyak Dien, Pangeran Diponogoro dan beberapa pahlawan lainnya. Lalu pertanyaan yang muncul adalah, apakah mereka yang selama ini kita kenal sebagai pahlawan, pantas menyandang gelar prestisius tersebut?.
Pahlawan dan komoditas politik
Pertanyaan di atas sebenarnya sama seperti yang di ungkapkan Dedi Mizwar, Si Naga Bonar dalam film Naga Bonar jadi 2, ketika dalam salah satu scene berkunjung ke taman makam pahlawan “apa mereka semua yang ada di sini pantas di sebut pahlawan?”.
Diperolehnya jawaban iya atau tidak dari pertanyaan tersebut merupakan sebuah pemahaman sejarah setiap individu, hal tersebut terletak dimana kita menempat posisi dan dengan siapa kita akan setuju. Oleh karena itu, faktor kesukuan, kekeluargaan, atau politik patut kita singkirkan untuk mengetahui seberapa bersih hati kita dengan mengakui seseorang yang nantinya akan menjadi panutan semua orang.
Komoditas politik yang terus menggunung menyebabkan semua tampak samar dan abu-abu, terlebih pada saat ini berdekatan dengan momen pemilu, dimana semua aspek politik setiap partai mulai diberdayakan.
Dari kasus inilah, pahlawan dijadikan symbol politik tak peduli apakah latar belakang dan azas partai politik tersebut, contoh ringannya pada beberapa waktu lalu pada beberapa stasiun televisi di putar iklan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang menggunakan tokoh-tokoh atau pahlawan nasional, antara lain: KH. Hasyim Asy’ari (pendiri Nahdhatul Ulama dan pahlawan nasional), KH. Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah dan juga pahlawan nasional), Ir. Soekarno (pressiden RI 1 dan salah satu tokoh nasionalis). Padahal para tokoh tersebut tidak ada hubungannya dengan azas Partai Keadilan sejahtera (PKS).
Cara-cara seperti itu pula yang ditengarai digunakan oleh pemerintah Hindia-Belanda untuk menjalankan politiknya, R.A Kartini dijadikan sebagai alat untuk komoditas politik etisnya ( Politik balas budi), hal ini tentunya dapat menguntungkan kedua belah pihak ata simbiosis mutualisme, artinya kewenangan politik Hindia –Belanda pada waktu itu tetap terjaga, di lain pihak pemerintah Indonesia merasa terwakili dengan diakuinya R.A Kartini sebagai pahlawan wanita.
Ternyata dari semua fakta yang ditemukan, beberapa alas an tidak memihak atau lebih tepatnya tidak mengakui R.A Kartini sebagai pahlawan, salah satu dari beberapa alas an tersebut adalah masih dipertanyakannya keontentikan pemikiran R.A Kartini yang tertuang dalam buku berjudul Door Duisternis Toot Licht (habis gelap terbitlah terang) yang merupakan kumpulan surat-surat R.A Kartini selama dia “dipingit” oleh orang tuanya, surat tersebut dikirimkan kepada sahabatnya di Belanda Rosa Manuela Abendanon, yang kemudian di bukukan oleh suami Rosa, Mr J.H Abendanon yang kebetulan adalah seoarang Menteri Kebudayaan dan agama di Belanda dan memiliki kepentingan ke arah tersebut. bahkan hingga kini tidak ada yang mengetahui naskah otentik dari surat-surat R.A. Kartini tersebut.
Sebenarnya ini hanya sekelumit ketidakberesan dari pemberian title pahlawan itu sendiri, seperti yang di utarakan oleh DR. Haryono M.Pd, status kepahlawanan akan diperoleh bila pada tingkat bawah (rakyat) telah banyak mengajukan bukti-bukti kepahlawanan seseorang, selanjutnya bukti-bukti itu telah banyak di seminarkan hingga akhirnya di serahkan kepada Menteri social, yang mempunyai kewengan untuk memutuskan hal tersebut.
Atas dasar itulah, sebenarnya ada beberapa pahlawan yang tidak lolos verifikasi, di antaranya adalah Bu Tien Soeharto, walau tanpa adanya pengajuan dari bawah (rakyat) dan tidak pernah dibawa ke pentas seminar, nama Bu Tien Soeharto berhasil menjadi pahlawan beberapa hari setelah kematiannya, yang di dapat dengan cara mudah lewat hak veto suami tercintanya.
Kenapa harus di gugat?
Seperti yang di utarakan oleh penulis buku ini, Eka Nada Shofa Alkhajar pada acara bedah bukunya pada tanggal 23 Desember 2008 di UPT Perpustakaan UMM “saya cuma tidak mau, bila para pahlawan mati 2 kali” artinya ketika kehidupan saat ini dengan tensi persaingan yang terus memanas, mereka (elit politik) tak segan untuk menggunakan atribut kepahlawanan dan nama pahlawan pun kembali mati karena kepentingan sesaat tersebut.
Di dalam bukunya, penulis menginginkan agar kita tidak mendewakan para pahlawan yang sepertinya tanpa cela, dan pada akhir akan mati kembali karena masalah ketidakcocokan sebagian masyarakt dengan kelompok yang menggunakan symbol mereka (pahlawan). Tanpa harus di pungkiri pahlawan kini mati 2 kali, bukan?



Rivi Abdul Jabar
Ketua panitia bedah buku “pahlawan2 yang digugat” yang diselenggarakan oleh UPT Perpustakaan UMM

No Response to "Komoditas politik itu bernama Pahlawan"

Posting Komentar